CERITA RAKYAT
TUJUH ANAK LELAKI
Pada zaman dahulu kala, di sebuah
kampung di daerah Nanggro Aceh Darussalam, ada sepasang suami-istri yang
mempunyai tujuh orang anak laki-laki yang masih kecil. Anak yang paling tua
berumur sepuluh tahun, sedangkan yang paling bungsu berumur dua tahun. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka, sepasang suami-istri itu menanam sayur-sayuran
untuk dimakan sehari-hari dan sisanya dijual ke pasar. Meskipun serba
pas-pasan, kehidupan mereka senantiasa rukun, damai, dan tenteram.
Pada suatu waktu, kampung mereka
dilanda musim kemarau yang berkepanjangan. Semua tumbuhan mati karena
kekeringan. Penduduk kampung pun mulai kekurangan makanan. Persediaan makanan
mereka semakin hari semakin menipis, sementara musim kemarau tak kunjung usai.
Akhirnya, seluruh penduduk kampung menderita kelaparan, termasuk keluarga
sepasang suami-istri bersama tujuh orang anaknya itu.
Melihat keadaan tersebut, sepasang
suami-istri tersebut menjadi panik. Tanaman sayuran yang selama ini menjadi
sumber penghidupan mereka tidak lagi tumbuh. Sementara mereka tidak mempunyai
pekerjaan lain kecuali menanam sayur-sayuran di kebun. Mereka sudah berpikir
keras mencari jalan keluar dari kesulitan tersebut, namun tidak menemukan jawabannya.
Akhirnya, mereka bersepakat hendak membuang ketujuh anak mereka ke sebuah hutan
yang letaknya jauh dari perkampungan.
Pada suatu malam, saat ketujuh
anaknya sedang tertidur pulas, keduanya bermusyawarah untuk mencari cara
membuang ketujuh anak mereka.
“Bang! Bagaimana caranya agar tidak ketahuan anak-anak?”
tanya sang Istri bingung.
“Besok pagi anak-anak kita ajak pergi mencari kayu bakar
ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Pada saat mereka beristirahat makan
siang, kita berpura-pura mencari air minum di sungai,” jelas sang Suami.
“Baik, Bang!” sahut sang Istri sepakat.
Tanpa mereka sadari, rupanya anak
ketiga mereka yang pada waktu itu belum tidur mendengar semua pembicaraan
mereka. Keesokan harinya, sepasang suami-istri itu
mengajak ketujuh putranya ke hutan untuk mencari kayu bakar. Sesampainya di
hutan yang terdekat, sang Ayah berkata kepada mereka :
“Anak-anakku semua! Sebaiknya kita cari hutan yang luas
dan banyak pohonnya, supaya kita bisa mendapatkan kayu bakar yang lebih banyak
lagi,” ujar sang Ayah.
“Baik, Ayah!” jawab ketujuh anak lelaki itu serentak.
Setelah berjalan jauh, sampailah
mereka di sebuah hutan yang amat luas. Alangkah gembiranya mereka, karena di
hutan itu terdapat banyak kayu bakar. Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar
yang banyak berserakan. Ketika hari menjelang siang, sang Ibu pun mengajak
ketujuh anaknya untuk beristirahat melepas lelah setelah hampir setengah hari
bekerja. Pada saat itulah, sepasang suami istri itu
hendak mulai menjalankan recananya ingin meninggalkan ketujuh anak mereka di
tengah hutan itu.
“Wahai anak-anakku! Kalian semua beristirahatlah di sini
dulu. Aku dan ibu kalian ingin mencari sungai di sekitar hutan ini, karena
persediaan air minum kita sudah habis,” ujar sang Ayah.
“Baik, Ayah!” jawab ketujuh anak itu serentak.
“Jangan lama-lama ya, Ayah... Ibu...!’” sahut si Bungsu.
“Iya, Anakku!” jawab sang Ibu lalu pergi mengikuti
suaminya.
Sementara itu, setelah menunggu
beberapa lama dan kedua orangtua mereka belum juga kembali, ketujuh anak itu
mulai gelisah. Mereka cemas kalau-kalau kedua orangtua mereka mendapat musibah.
Akhirnya, si sulung pun mengajak keenam adiknya untuk pergi menyusul kedua
orangtua mereka. Namun, sebelum meninggalkan tempat itu, anak ketiga tiba-tiba
angkat bicara.
“Abang! Tidak ada gunanya kita menyusul ayah dan ibu.
Mereka sudah pergi meninggalkan kita semua,” kata anak ketiga.
“Apa maksudmu, Dik?” tanya si Sulung.
“Tadi malam, saat kalian sudah tertidur nyenyak, aku
mendengar pembicaraan ayah dan ibu. Mereka sengaja meninggalkan kita di tengah
hutan ini, karena mereka sudah tidak sanggup lagi menghidupi kita semua akibat
kemarau panjang,” jelas anak ketiga.
“Kenapa hal ini baru kamu ceritakan kepada kami?” tanya
anak kedua.
“Aku takut ayah dan ibu murka kepadaku, Bang,” jawab anak
ketiga.
Akhirnya ketujuh anak itu tidak jadi
pergi menyusul kedua orangtuanya, apalagi hari sudah mulai gelap. Mereka pun
segera mencari tempat perlindungan dari udara malam. Untungnya, tidak jauh dari
tempat mereka berada, ada sebuah pohon besar yang batangnya berlubang seperti
gua. Mereka pun beristirahat dan tidur di dalam lubang kayu itu hingga pagi
hari.
“Bang! Apa yang harus kita lakukan sekarang? Ke mana kita
harus pergi?” tanya si anak kedua.
“Kalian tunggu di sini! Aku akan memanjat sebuah pohon
yang tinggi. Barangkali dari atas pohon itu aku dapat melihat kepulan asap.
Jika ada, itu pertanda bahwa di sana ada perkampungan,” kata si Sulung.
Ternyata benar, ketika berada di atas
pohon, si Sulung melihat ada kepulan asap dari kejauhan. Ia pun segera turun
dari pohon dan mengajak keenam adiknya menuju ke arah kepulan asap tersebut.
Setelah berjalan jauh, akhirnya sampailah mereka di sebuah perkampungan.
Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat sebuah rumah yang sangat besar
berdiri tegak di pinggir kampung.
“Hei lihatlah! Besar sekali rumah itu,” seru anak keempat.
“Waaahhh... jangan-jangan itu rumah raksasa,” sahut anak
keenam.
Baru saja kata-kata itu terlepas dari
mulutnya, tiba-tiba terdengar suara keras dari dalam rumah itu meminta mereka
masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, penghuni rumah itu pun keluar.
Rupanya, dia adalah raksasa betina.
“Hei, anak manusia! Kalian siapa?” tanya Raksasa Betina
itu.
“Kami tersesat, Tuan Raksasa! Orang tua kami meninggalkan
kami di tengah hutan,” jawab si Sulung.
Mendengar keterangan itu, tiba-tiba
si Raksasa Betina merasa iba kepada mereka. Ia pun segera mengajak mereka masuk
ke dalam rumahnya, lalu menghidangkan makanan dan minuman kepada mereka. Oleh
karena sudah kelaparan, ketujuh anak itu menyantap makanan tersebut dengan
lahapnya.
“Habiskan cepat makanan itu, lalu naik ke atas loteng!
Kalau tidak, kalian akan dimakan oleh suamiku. Tidak lama lagi ia datang dari
berburu,” ujar Raksasa Betina.
Oleh karena takut dimakan oleh
Raksasa Jantan, mereka pun segera menghabiskan makanannya lalu bergegas naik ke
atas loteng untuk bersembunyi. Tidak lama kemudian, Raksasa Jantan pun pulang
dari berburu. Ketika membuka pintu rumahnya, tiba-tiba ia mencium bau makanan
enak.
“Waaahhh... sedapnya!” ucap raksasa jantan sambil
menghirup bau sedap itu.
“Bu! Sepertinya ada makanan enak di rumah ini. Aku mencium
bau manusia. Di mana kamu simpan mereka?” tanya Raksasa Jantan kepada istrinya.
“Aku menyimpan mereka di atas loteng. Tapi mereka masih
kecil-kecil. Biarlah kita tunggu mereka sampai agak besar supaya enak dimakan,”
jawab Raksasa Betina.
Si Raksasa Jantan pun menuruti
perkataan istrinya. Selamatlah ketujuh anak itu dari ancaman Raksasa Jantan.
Keesokan harinya, ketika si Raksasa Jantan kembali berburu binatang ke hutan,
si Raksasa Betina pun segera menyuruh ketujuh anak lelaki itu pergi. Namun,
sebelum mereka pergi, ia membekali mereka makanan seperlunya selama dalam
perjalanan. Bahkan, si Raksasa Betina yang baik itu membekali mereka dengan
emas dan intan.
“Bawalah emas dan intan ini, semoga bermanfaat untuk masa
depan kalian,” kata Raksasa Betina.
“Terima kasih, Raksasa Jantan! Tuan memang raksasa yang
baik hati,” ucap si Sulung seraya berpamitan.
Setelah berjalan jauh menyusuri hutan
lebat, menaiki dan menuruni gunung, akhirnya tibalah mereka di tepi pantai.
Mereka pun segera membuat perahu kecil lalu berlayar mengarungi lautan luas.
Setelah beberapa lama berlayar, tibalah mereka di sebuah negeri yang diperintah
oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Di negeri itu mereka menjual semua
emas dan intan pemberian raksasa kepada seorang saudagar kaya. Hasil penjualan
tersebut, mereka gunakan untuk membeli tanah perkebunan. Masing-masing mendapat
tanah perkebunan yang cukup luas. Ketujuh bersaudara itu sangat rajin bekerja
dan senantiasa saling membantu.
Beberapa tahun kemudian, mereka pun
telah dewasa. Berkat kerja keras selama bertahun-tahun, akhirnya mereka
memiliki harta kekayaan yang banyak. Kemudian masing-masing dari mereka membuat
rumah yang cukup bagus. Ketujuh lelaki itu pun hidup damai, tenteram dan
sejahtera.
Pada suatu hari, si Bungsu tiba-tiba
teringat dan merindukan kedua orangtuanya. Ia pun segera mengundang keenam
kakaknya datang ke rumahnya untuk bersama-sama pergi mencari kedua orangtua
mereka.
“Maafkan aku, Kakakku semua! Aku mengundang kalian ke
sini, karena ingin mengajak kalian untuk pergi mencari ayah dan ibu. Aku sangat
merindukan mereka, dan aku yakin, mereka pasti masih hidup,” ungkap si Bungsu
kepada saudara-saudaranya.
“Iya, Adikku! Kami juga merasakannya seperti itu. Kami
sangat rindu kepada ayah dan ibu yang telah melahirkan kita semua,” tambah anak
keenam.
“Baiklah kalau begitu! Besok pagi kita bersama-sama pergi
mencari mereka. Apakah kalian setuju?” tanya si Sulung.
“Setuju!” jawab keenam adiknya serentak.
Keesokan harinya, berangkatlah
ketujuh orang bersaudara itu mencari kedua orangtua mereka. Setelah berlayar
mengarungi lautan luas, tibalah mereka di sebuah pulau. Di pulau itu, mereka
berjalan dari satu kampung ke kampung lain. Sudah puluhan kampung mereka
datangi, namun belum juga menemukannya. Hingga pada suatu hari, mereka pun
menemukan kedua orangtua mereka di sebuah kampung dalam keadaan menderita.
Ketujuh orang bersaudara itu sangat sedih melihat kondisi kedua orangtua
mereka. Akhirnya, mereka membawa orangtua mereka ke tempat tinggal mereka untuk
hidup dan tinggal bersama di rumah yang bagus.
Sejak itu, kedua orangtua itu
berkumpul kembali dan hidup bersama dengan ketujuh orang anaknya. Mereka
senantiasa menyibukkan diri beribadah kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Segala
keperluannya sudah dipenuhi oleh ketujuh orang anaknya yang sudah cukup kaya.
HIKAYAT
CERITA RAJA KILAN SYAH SERTA PUTRANYA
Maka
kata bayan itu, "Adalah seorang raja di negeri Istambul, terlalu amat
besar kerajaan baginda itu. Maka adalah nama raja itu Kilan Syah dan istrinya
baginda itu, bemama tuan putri Nur Zainun anak raja di negeri Kastambar; ada
dengan menterinya bemama Mangkubumi. Adapun akan raja itu ada berputra
seorang laki-laki terlalu amat baik parasnya; maka dinamai oleh baginda akan
anakanda itu raja Johan Rasyid. Maka raja Johan Rasyid itu pada lahirnya
terlalu sangat bijaksana. Maka adalah umumya baharu empat belas tahun. Maka dengan
takdir Allah sabhanahu wataala ayahanda baginda itu pun geringlah terlalu amat
sangat. Maka segala wazir dengan segala orang besar-besar dan bentara dan
penggawa di negeri itu pun, bertunggulah masing-masing kepada tempatnya serta
dengan dukacitanya akan raja Kilan Syah gering itu.
Maka
anakanda baginda raja Johan Rasyid pun tiadalah taksir lagi menyuruh
mengobatkan ayahanda baginda itu pada segala hukama dan segala ulama. Maka
obat pun tiadalah memberi faedah kepada baginda itu: seperti racunlah kepadanya.
Syahdan
usahkan berkurang penyakit baginda itu, makin bertambah-tambah pula sakitnya.
Maka raja Kilan Syah tahulah akan penyakit itu alamat mautlah. Setelah dirasai
baginda hampirlah waktu baginda itu akan meninggalkan dunia, maka raja Kilan
Syah pun menyuruh memanggil perdana menteri dan segala orang besar-besar dan
segala pegawai-pegawai. Setelah datanglah masing-masing menghadap baginda, maka
sekalian itu pun dengan tangisnya sebab bercintakan baginda itu.
Maka
raja Kilan Syah pun bertitah, "Hai segala tuan-tuan! Ketahui olehmu bahwa
aku hampirlah akan kembali dari negeri yang fana ke negeri yang baka. Bahwa
adalah amanatku pada kamu sekalian: akan anakku Johan Rasyid itu,
pertaruhankulah pada kamu sekalian: pertama-tama aku serahkan kepada Allah
subhanahu wataala dan Rasulnya, kemudian dari itu pada kamu sekalianlah.
Bagaimana kamu sekalian telah berbuat bakti akan daku dan engkau mengasihi aku,
demikianlah kepadanya. Hubayahubaya jangan engkau lainkan aku dengan dia;
barang siapa melalui daripada amanatku ini, durhakalah ia kepada aku; dan
jika barang suatu hendak dikerjakan, sekali-kali jangan engkau lalui hukum
Allah taala, dan takuti olehmu akan Allah subhanahu wataala
sangat-sangat."
Maka
sembah mereka itu sekalian, "Ya tuanku syah alam, jangan apalah tuanku
memberi titah demikian memberi belas rasa hati patik sekalian. Adakah pemah
pafik sekalian melalui titah duli tuanku? Titah yang demikian itu pun patik
junjunglah di atas batu kepala patik sekalian, dilanjutkan Allah subhanahu wataala
umur syah alam."
Setelah
raja Kilan Syah mendengar sembah mereka itu sekalian, maka baginda pun menangis
seraya menghadapkan muka baginda kepada anakanda baginda raja Johan Rasyid.
Maka
titah raja, "Hai anakku Johan Rasyid! Baik-baiklah engkau peliharakan
dirimu daripada api neraka! Dan pebenar olehmu barang katamu dan hendaklah
engkau adil dan murah. Jauhi olehmu daripada dusta dan lalim! Hendaklah buka
tanganmu dan jauhi olehmu daripada kikir, karena benar itu perhiasan segala
raja-raja yang berilmu. Jika engkau turut seperti wasiatku ini, tiadalah engkau
menganiaya dirimu kepada kedua buah negeri "
Setelah
sudah raja Kilan Syah berwasiat, maka raja Kilan Syah pun kembali kerahmat
Allah taala dari negeri yang fana ke negeri yang baka. Maka segala mereka itu
pun merataplah, riuh rendahlah bunyi segala isi istana, menderulah bunyinya
seperti ribut topan.
Maka
perdana menteri dan segala pegawai orang besar-besar itu pun semuanya habis
berhimpun, hendak merajakan Johan Rasyid. Maka mayat raja Kilan Syah pun
dikuburkan oranglah dengan sempumanya seperti adat segala raja-raja yang besar;
demikianlah diperbuat orang akan baginda. Maka raja Johan Rasyid pun tiadalah
taksir lagi akan mengerjakan jenazah ayahanda baginda itu. Maka setelah
datanglah kepada setahun lamanya raja Johan Rasyid di atas takhta kerajaan,
maka terlalulah ia lalim, tiada takut akan Allah subhanahu wataala dan tiada
takut dan malu akan Nabi kita, dan wasiat ayahandanya pun dilupakannyalah;
melainkan akan hawa nafsunya juga yang diikutinya, dan akan nyawa segala hamba
Allah pun tiadalah terhisabkan lagi; pada sehari-hari makin bertambah-tambah
juga _lalimnya. Setelah diUhat oleh perdana menteri dan segala wazir dan
segala orang yang bemama-nama akan raja Johan Rasyid demikian itu, maka ia pun
terlalu heran dari karena sangat bersalahan daripada raja Kilan Syah, seperti
langit dengan bumi jauhnya dengan perangai ayahanda itu. Maka perdana menteri
dengan segala wazir dan segala orang besar-besar dan segala pegawai pun
berhimpun pergi menghadap raja Johan Rasyid, lalu duduk menyembah.
Maka
sembah perdana menteri dan segala mereka itu, "Ya tuanku Syah Alam! Maka
adalah patik sekalian ini menghadap ke bawah duli tuanku, karena tuanku
mengerjakan pekerjaan larangan Allah dan Rasul dan tiada mengikut wasiat paduka
marhum sedang mangkat; bukankah baginda berpesan kepada duli tuanku melarangkan
daripada kerja yang tiada berbetulan dengan hukum Allah "taala jangan duli
tuanku kerjakan; dan lagi duli tuanku raja berasal, lagi berilmu turun-temurun
daripada paduka ayahanda baginda raja yang adil; maka sampai kepada masa tuanku
naik kerajaan, demikianlah jadinya, tiadalah tuanku menurut amanat paduka
ayahanda itu."
Setelah
raja Johan Rasyid mendengar sembah perdana menteri dan segala pegawai-pegawai
orang yang besar-besar itu, suatu pun tiada apa titah raja Johan Rasyid, lalu
ia berbangkit ke istananya. Maka perdana menteri dengan segala orang
besar-besar pun tiadalah terbicara lagi, oleh karena sembah mereka itu tiada
disahut oleh raja Johan Rasyid.
Setelah
ia mendengar sembah segala mereka itu, makin bertambah-tambah pula lalimnya
daripada ia belum mendengar Sembah perdana menteri itu. Maka segala isi negeri
Istambul pun berundurlah dari negeri itu.
Setelah
dilihat oleh perdana menteri dan segala orang besar- besar akan hal negeri itu,
maka perdana menteri dan segala wazir pun terialu dukacita seraya dengan
herannya melihat qadla Allah taala yang datang kepadanya itu. Maka perdana
menteri pun memanggil segala wazir dan segala pegawai di dalam negeri itu
berhimpun ,musyawarat. dengan perdana menteri itu mencari bicara akan raja
Johan Rasyid, kalau-kalau mau, raja itu berbuat adil, supaya negeri jangan
binasa. Setelah sudah musyawarat, maka oleh perdana menteri dan segala
orang besar-besar dibawanya waliullah empat orang serta delapan orang ulama
pergi kepada raja Johan Rayid. Maka pada ketika itu juga raja Johan Rasyid pun
sedang dihadap oleh orang yang garib-garib segala hamba raja yang
jahat-jahat itu dan fasik murtad celaka, segala orang itu pun dikasihi oleh
raja. Maka baginda pun melihat waliullah dating dibawa olehnya perdana menteri
dan segala pegawai baginda, maka segeralah ia berangkat masuk ke istana.
Setelah dilihat oleh waliullah dan ulama itu tiada dengan adatnya, maka ulama
dan waliullah pun tersenyum. Maka perdana menteri dan segala orang besar-besar
pun tiadalah terbicara lagi. Maka segala mereka itu pun masing-masing kembali
ketempatnya dengan dukacitanya.
Maka
beberapa hari perdana menteri dengan segala orang besar-besar hendak berdatang
sembah kepada anak raja itu, tiada juga ia mau keluar; daripada sehari-hari
makin bertambah lalimnya. Maka negeri itu pun diturunkan Allah subhanahu
wataala kemarau sangat keras; kepada sebulan, sehari pun tiada hujan. Maka
segala tanaman orang pun banyaklah mati. Maka segala dagang pun tiada masuk ke
negeri itu, karena mendengar rajanya sangat lalimnya, dan segala makanan pun
tiada dibawa masuk ke negeri itu, jadi mahalhh. Maka orang-orang di dalam
negeri itu pun lapariah, banyak mati. Maka segala pegawai dan wazir pun
berhimpunlah datang kepada perdana menteri bertanya dan bicarakan raja Johan
Rasyid itu.
Maka
kata segala mereka itu kepada perdana menteri, "Jikalau raja ini tiada
kita bunuh, niscaya binasalah negeri ini, kita sekalian pun huru-haralah."
Setelah
dilihat oleh perdana menteri akan segala mereka itu gobar sangat, hendak
membunuh raja itu, maka kata perdana menteri akan saudaranya.
"Pada
bicara hamba, baiklah sabar dahulu, sementara kita bertanya hukum kepada kadi
akan raja kita ini, maka hukum Allah suhanahu watala, di sanalah kita
turut."
Maka
sahut segala mereka itu, "Benarlah seperti kata perdana menteri itu,
tetapi kami sekalian hendaklah segera menyembah raja lain."
Maka
kata perdana menteri, "Jikalau demikian, marilah kita pergi kepada kadi,
supaya saudara hamba jangan syak hati."
Maka
segala mereka itu pun pergilah mendapatkan kadi, Maka di dalam negeri itu pun
setengah orang berhimpun membaca kitab daripada seorang mufti. Maka segala
wazir yang besar-besar datang itu dengan alat senjatanya; maka kadi pun
terkejut seraya menyerahkan dirinya kepada Allah taala; maka katanya, "Apa
pekerjaan saudara hamba datang beramai-ramai ini? Karena apa?"
Maka
perdana menteri pun naik duduk seraya menyembah serta memberi salam dan hormat.
Maka disahuti kadi salamnya itu dan mufti itu pun memberi hormatnya dengan
seribu kemuliaan.
Maka
kata perdana menteri, "Adapun hamba datang kepada tuan hamba ini hendak
bertanyakan hukum Allah taala akan segala raja-raja yang harus menjadi
raja."
Maka
kata kadi kepada mufti, "Ya Malulana .Tuan hamba!"
Maka
kata mufti, "Baiklah! Hai tuan-tuan sekalian, ketahuilah, bahwasanya
kepada hukum Allah yang hams akan raja itu, berakal, tiada harus raja itu
bebal; kedua balig, tiada harus kanak-kanak; ketiga berbudi, tiada harus raja
itu khilaf akalnya; keempat raja itu sehat, tiada harus raja penyakit aib
seperti sopak dan kusta; kelima, raja itu adil, tiada harus raja itu lalim,
karena itu menjadi dlilullahu filalam imam sekalian manusia, karena segala raja
itu membawa tertib sallallahualami wasallam, karena raja bayang Allah taala dan
ganti Nabi, supaya boleh diturut segala manusia.
Setelah
mereka itu mendengar kata mufti itu dengan beberapa hadis dan dalil, maka kata
perdana menteri dengan segala wazir itu, "Ya Maulana, akan raja kita ini
apa hukumnya? Karena ia terlalu sangat lalim akan segala manusia, sedikit pun
tiada rahimnya akan segala isi negeri.''
Maka
kata mufti itu, "Suruh ia bertobat daripada pekerjaannya itu; jikalau ia
tiada mau tobat, kamu sekalian bunuh akan dia."
Maka
kadi dan perdana menteri dan segala pegawai dan segala wazir pun menyuruh
bicara lengkap segala alat senjata. Maka segala rakyat pun hendak mengerjakan
seperti kata mufti itu.
Maka
segala musyawarat itu pun terdengarlah kepada baginda raja Johan Rasyid hendak
dibunuh akan dia; hendak disuruh tobat itu, tiada dipakainya. Maka ia pun
segeralah lari dengan seekor kuda, seorang pun tiada sertanya. Maka mereka
sekalian pun datanglah hendak menyuruh raja Johan Rasyid itu tobat. Maka kata
segala yang garib-garib itu, "Bahwa raja sudah lari dengan seekor kuda ke
mana-mana perginya tiadalah kami ketahui."
Setelah
segala khalayak mendengar kata itu, maka kata segala wazir dan segala pegawai
yang besar-besar kepada perdana menteri, "Akan sekarang ini, apa bicara
tuan hamba? Negeri kita ini tiada beraja, tiada harus pada hukum Allah
taala."
Maka
kata mufti, "Baiklah Kadi, ini kita jadikan raja sementara mencari yang
lain, supaya tetap negeri."
Maka
mereka itu pun kabuUah akan kata mufti itu. Maka kadi pun ditabalkan oranglah dengan sepertinya.
Setelah
kadi itu jadi raja, maka ia pun terialulah adil, kepada barang yang
dikerjakannya dengan hukum Allah taala juga, sekali-kali tiada bersalahan
seperti dahulu itu dengan sekarang ini. Maka isi negeri itu pun kembalilah
seperti adat sediakala.
Sebermula,
maka tersebutlah perkataan raja Johan Rasyid lari itu. Setelah datanglah kepada
empat puluh hari perjalanan, maka ia pun bertemulah dengan Bedawi delapan
orang. Maka dirampaslah oleh Bedawi itu akan raja Johan Rasyid, habis
diambilnya kudanya dan senjatanya dan pakaiannya sekaliannya dirampas. Maka
Bedawi yang delapan orang itu pun berjalanlah kepada tempat lain, menjadi
kayalah sebab ia beroleh pusaka pakaian kerajaan dengan selengkapnya itu.
Setelah
Bedawi itu sudah berjalan, maka raja Johan Rasyid pun tinggallah dengan lapar
dahaganya yang amat sangat serta dukacitanya. Maka ia pun baharulah sadarkan
dirinya diqadlakan Allah taala akan dia, dibalasnya perbuat lalim itu. Maka
raja pun terlalulah menyesal mengerjakan segala pekerjaan yang telah lalu itu,
seraya bertobat kepada Allah subhanahu wataala dengan sempumanya. Maka raja
Johan Rasyid pun menjadikan dirinya seorang fakir minta sedekah, segenap negeri
orang ia pergi, serta mengerjakan iman dan taat menjauhkan kufur dan maksiat.
Maka terlalulah amat sangat keras pertapaannya itu.
Maka
kadi pun sampailah turun-temurun menjadi raja di negeri Istambul datang kepada
anak cucunya. Demikianlah hikayat raja Kilan Syah berpesan kepada anaknya.
PERSAMAAN
HIKAYAT DENGAN CERITA RAKYAT
·
Fungsi dan tujuan
umumnya sama, yaitu sebagai pelipur lara hati si pembaca
·
Keduanya merupakan
salah satu karya sastra
·
Sama-sama
menceritakan tentang kejadian masa lalu/lampau
·
Bertujuan untuk menyampaikan
hal-hal yang baik atau berupa ajaran-ajaran bagi si pembaca.
PERBEDAAN HIKAYAT DENGAN CERITA RAKYAT
·
Hikayat cenderung
terikat oleh bahasa melayu, sedangkan cerita rakyat lebih luwes.
·
Isi hikayat
biasanya bercerita tentang kehebatan dan kesaktian para raja, pangeran dll,
sedangkan cerita rakyat umunya memiliki cerita tentang kehidupan masyarakat
setempat.
·
Hikayat umumnya menggunakan kata pembuka “Alkisah“, sedangkan
cerita rakyat menggunkan kata pembuka “Pada Zaman Dahulu Kala“.
·
Hikayat biasanya menggunakan kata penghubung maka, syahibul
hikayat, shahdan, pada itu dll, sedangkan cerita rakyat menggunakan kata
penghubung kemudian, selanjutnya, begitupula dll.